Orang Bengkulu pernah mengenal rumah biday. Di daerah Cihapit, Bandung, ada deretan rumah peninggalan Belanda yang menjadikan bambu sebagai tulangan dinding -- sama seperti rumah biday. Museum Pegadaian di Sukabumi, yang dibangun 1901, juga sama halnya. Menjadikan bambu sebagai tulangan dinding temboknya. Sementara, di Jl. Paseban, Jakarta Pusat, kita bisa menemukan sebuah rumah dengan dinding serupa. Bahkan, rumah di ibukota itu masih menyisakan anyaman bambu yang belum diplester. "Sengaja tidak diplester. Untuk menunjukkan, bahwa rumah ini sebenarnya berdinding bambu yang dianyam," kata salah seorang pewaris rumah tersebut, suatu ketika.
Point yang ingin saya sampaikan adalah: Bahwa teknologi bambu plester atau bambu beton sebenarnya bukanlah hal baru. Masyarakat kita sudah lama mengenalnya. Namun, kendati upaya memperkenalkan kembali teknologi murah itu pernah merebak di awal 2000-an silam, masyarakat luas masih juga termakan gagasan modernitas yang salah kaprah: Bahwa bambu adalah simbol keterbelakangan dan kemiskinan, lengkap dengan aplikasi "rumah minimalis" yang sama ngaconya. Sampai-sampai, di sebuah grup, banyak yang terheran-heran sekaligus mempertanyakan akal sehat seseorang ketika orang tersebut menunjukan sebuah rangkaian bilahan bambu untuk kolom calon rumahnya. Seakan si pemosting hanya mencari sensasi dan ingin berhemat semata -- untuk tidak mengatakannya sangat miskin. Sementara, bangunan aneh dengan liang angin yang sempit, yang melawan kondrat iklim tropis negeri ini, mendapat tepuk tangan dan decak kagum meriah.
Padahal, tindakan si pemosting kolom bambu itu sangat waras. Bahkan basis ilmiah untuk bambu sebagai tulangan beton bukannya tidak ada. Sangat banyak. Selain, praktik yang sebenarnya sudah lama dilakukan masyarakat kita.
Dan postingan ini, mencoba mengingatkan kembali "wacana" keunggulan bambu. Dengan menyodorkan rangkaian foto Bambu House. "Rumah yang akan kita bahas kali ini adalah rumah tinggal milik Ir. Budi Faisal, MAUD, MLA, PhD. Pemilik rumah berprofesi sebagai Staff Pengajar di Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB. Rumah yang berada pada lahan seluas 622m2 ini terletak di Kompleks Eco Pesantren Daarut Tauhid, Bandung, Jawa Barat, sebuah kompleks yang berusaha menerapkan konsep Sustainable Development. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) pun sangat rendah, hanya sekitar 15%. Luas total bangunan adalah 248m2, yang terdiri dari 116m2 lantai dasar, dan 132m2 lantai atas," demikian tulis Septana dalam artikelnya tadi.
0 comments:
Post a Comment